Komodifikasi: Konten, Khalayak, dan Pekerja




Sudah menjadi rahasia umum apabila media dewasa ini hanya menjadi sebuah bagian dari kepentingan kapitalis saja. Kapitalis yang dianggap sebagai pihak yang haus dengan harta tersebut sudah menampakkan dirinya, bahkan sang pemilik pun tak ragu untuk memamerkan namanya yang kini juga haus dengan tahta. Hal ini pun turut menjadi sebuah pembicaraan menarik mengenai ekonomi politik media yang pada tahun 2009, Mosco menciptakan buku tentang hal tersebut.

Dalam kajiannya, terbagi dalam tiga pembahasan, yakni: komodifikasi, spasialisasi, dan strukturisasi. Tulisan di bawah ini yang menjadi topik pembahasan adalah komodifikasi dengan melihat pada konten, khalayak, dan pekerja media itu sendiri.

Komodifikasi awalnya lahir dari Marx yang membuat sebuah analisis komoditi ternyata menemukan hal kapitalis yang merepresentasikan bentuk dan arahan dari media tersebut. Dalam bukunya Mosco, komodifikasi adalah sebuah proses perubahan sesuatu yang memiliki nilai fungsi/guna menjadi produk marketing yang bernilai dan memberikan perubahan. Hakikatnya komodifikasi adalah sebuah cara yang dilakukan oleh media, baik pemimpin ataupun bawahan dengan menempatkan nilai fungsi sebuah acara pada media diubah menjadi nilai komoditas.

Peta ekonomi politik media menjadi sangat penting untuk dibahas karena media sendiri yang memiliki peran dalam membuat konstruksi pesan turut memegang andil penting dalam mempengaruhi masyarakat. Baik dari segi sosial, budaya, bahkan pandangan politik kenegaraan. Oleh karena itu banyak mengenai ekonomi politik khususnya komodifikasi ini membahas kritikan sebuah program atau pesan media yang menjadi komodifikasi untuk kepentingan pemilik saja.

Sebagaimana yang diketahui, media membuat konten sedemikian rupa tidak hanya memberikan fungsi edukasi, informasi, atau persuasi saja, dibalik itu media juga membutuhkan dana yang tidak sedikit agar roda perekonomiannya tetap berjalan lancar. Makanya sering kita sebut dalam acara media elektronik adalah rating atau share. Berdasarkan angka itulah yang memunculkan komodifikasi dalam media.

Media memang pada dasarnya membutuhkan asupan dana, salah satunya dengan menyediakan ruang iklan untuk produk komersial. Tetapi akan disayangkan apabila media menjadi sebuah ruang komersial yang mengutamakan kepentingan kapitalis tersebut. Mereka tidak lagi akan menciptakan produk berkualitas, namun lebih kepada produk media yang laku dipasaran, padahal di Indonesia sistem persnya adalah tanggung jawab sosial. Disini media dapat dilihat membuka ruang sebesar-besarnya untuk iklan dibanding acaranya sendiri. Bahkan ada suatu saat media tidak lagi menjual iklan, namun menjual satu ruang waktu penuh terhadap sebuah produk yang tentu isinya hanya promosi produk komersial dengan berbagai kemasan merek dagang.

Ada dua dimensi umum mengenai siginifikansi hubungan komodifikasi dan komunikasi, pertama proses komunikasi dan teknologi berkontribusi pada proses umum komodifikasi ekonomi media secara menyeluruh, kedua proses komodifikasi saat kerja dalam masyarakat secara menyeluruh merupakan penetrasi dari proses komunikasi dan instansi, jadi itulah yang menjadi improvisasi dan kontradiksi di dalam komodifikasi sosial dalam proses mempengaruhi komunikasi sebagai praktek sosial.

Dalam komodifikasi komunikasi, terdapat tiga bagian komoditas yang penting untuk diperhatikan, yakni: kontent, khalayak, dan pekerja media. Ketiga hal tersebut dinilai sebagai bagian penting yang tak terelakkan menjadi bahan komersial bagi media. Berikut ini dibahan satu persatu mengenai ketiga hal tersebut.



Komodifikasi Pesan

Ketika para ekonomi berpikir komoditas dalam komunikasi, mereka memiliki keinginan untuk memulai dengan isi media. Khususnya dari perspektif ini, merupakan proses komodifikasi dalam komunikasi yang merubah bentuk pesan, mulai dari kode biner hingga sistem pemaknaan, menjadi produk dagang.

Deskripsi singkat ini menunjukkan bahwa proses menciptakan nilai tukar dalam konten komunikasi merupakan keseluruhan komplek hubungan sosial dari komodifikasi termasuk dalam pekerja, konsumen dan pemilik modal. Komodifikasi ini berfokus pada mengidentifikasi hubungan antara komoditas isi dan pemaknaanya. Dan sejumlah penelitian telah mendokumentasikan nilai pendekatan telah dan kesimpulannya bahwa media massa dalam masyarakat kapitalis telah mengalihkan proses komoditi produksi seperti produk konten yang mencerminkan kepentingan pemilik modal.

Kehadiran media baru memperluas peluang untuk mengkomersialkan konten media karena didasarkan pada proses digitalisasi yang mengacu pada transformasi komunikasi termasuk data, kata-kata, gambar, dan suara kedalam bahasa yang umum. Proses digitalisasi memberikan keuntungan yang besar dalam kecepatan transmisi.

Pesan seyogyanya merupakan hasil dari produksi sebuah media yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga menjadi nilai jual tinggi yang akan sangat baik bagi marketing media. Oleh karena itu untuk masyarakat Indonesia saat ini, memahami sebuah pesan merupakan hal yang utama, apalagi jika pesan itu bernuansa politis, tentu akan menjadi sangat penting apabila pesan penting tersebut malah menjadi komoditas kepentingan pemilik media saja.

Komodifikasi Khalayak

Nicholas Graham menyebutkan ada 2 dimensi utama dalam komodifikasi media yaitu produksi langsung dari produk media dan penggunaan periklanan media untuk mempercepat proses komodifikasi di seluruh aspek perekonomian.

Dallas Smythe (1997) berargumen agak berbeda, dimana dia mengatakan bahwa khalayak lah barang komoditas utama bagi media massa. Menurut dia, program-program yang muncul melalui media massa digunakan untuk mengkonstruksi khalayak atau menarik khalayak yang Ia istilah kan dengan “free Lunch”. Dari titik pandang ini, khalayak atau khalayak lah adalah produk utama media massa.

Symthe juga mengatakan bahwa pemahaman tentang komodifikasi media itu tidaklah tunggal, baginya proses komodifikasi ini melibatkan 3 poin utama yang saling berhubungan yaitu terkait dengan industri media, khalayak dan periklanannya. Industri media menggunakan program mereka untuk membangun khalayak sehingga khalayak sampai pada bentuk periklanan dimana menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk memperluas hubungan.

Selain itu dalam kajian ini, penggunaan teknologi baru untuk memperluas proses pengukuran dan pemantauan aktivitas khalayak serta meneliti bagaimana khalayak menanggapi model media baru blogging, jejaring sosial, dan bentuk lain-lain dari menggunakan media yang bertujuan untuk melawan sistem komersial yang berlaku.

Pandangan ini melihat bahwa sebenarnya khalayak lah yang menjalankan fungsi komodifikasi, karena penentuan rating acara atau share adalah kehendak khalayak itu sendiri atau masyarakat. Melihat hal ini, turut kebersamaan masyarakat sebagai khalayak pun harus ikut andil dalam mengontrol isi media, terutama jika isi media ternyata tidak lagi sesuai dengan norma masyarakat kita.

Dalam komodifikasi khalayak terbagi dua yaitu:

• Komodifikasi Intrinsik : Komodifikasi yang melekat secara langsung dari program atau acara yang dibuat oleh media. Upaya untuk mengetahui karakteristik khalayak, dan keinginan spesifik dari masing-masing khalayak. Komodifikasi ini membutuhkan prosedur dan ukuran untuk menentukan secara akurat di semua tahapan produksi, pertukaran dan konsumsi.

• Komodifikasi Ekstensif : Proses komodifikasi yang terjadi dan mengalami perluasan melibatkan institusi pendidikan, pemerintah, budaya, telekomunikasi dsb. Komodifikasi ini memasukkan transformasi dari ruang umum menjadi kepemilikan privat seperti untuk mall dsb. Komodifikasi ini terutama diwujudkan lewat iklan-iklan komersial.

• Komodifikasi Pekerja: Komoditas pekerja sering diabaikan oleh para pemerhati ekonomi politik media, selama ini lebih cenderung pada komoditas isi dan khalayak.

Braverman dalam kajiannya dia berfokus pada pekerja dan proses yang terjadi pada produksi di media industri. Menurut dia dalam proses komodifikasi, model ini bertindak untuk memisahkan konsepsi dari eksekusi. Dimana terjadi pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal untuk melaksanakan tugas. Hal ini juga berkonsentrasi kekuatan konseptual di kelas manajerial yang merupakan bagian dari pemilik modal atau representasi kepentingan.

Ekonomi politik komunikasi menjelaskan mengenai perhatian pada kontrol kelembagaan atas produksi media dan dampak dari kontrol ini pada khalayak, dimana dengan kata lain terjadi sebuah proses ganda bahwa ketika para tenaga kerja sedang menjalankan kegiatan mengkomodifikasi, mereka pada saat yang sama juga dikomodifikasi. Pendekatan ini lebih pada bagaimana tekanan struktural dari birokrasi itu sendiri.

Susunan kebutuhan media akan perekonomian, sebagian besar datang dari pekerja media. Mereka membutuhkan income yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akan tetapi, kembali lagi bahwa sebenarnya yang memegang penuh kekuasaan media adalah pemilik media, tentu bagi mereka pekerja media tidak dapat membuat sebuah kebijakan tersendiri, tentunya harus melalui proses manajerial tersebut.

Tidak sedikit pekerja media yang telah disetir pemikirannya mengenai komodifikasi. Oleh karena itu juga tidak sedikit produser atau redaksi yang menyajikan sebuah acara yang tidak layak tayang demi sebuah iklan. Pekerja media menjadi dilema sebuah idealis dan realistis, dimana ekonomi menjadi sebuah faktor penting dalam pergerakan kerja media. Dalam media memang pekerja dibayar layaknya buruh, oleh karena itu pemilik media biasanya akan berupaya maksimal dalam menciptakan ruang kerja yang nyaman agar mereka tetap terbiasa untuk menciptakan karya nilai guna menjadi nilai jual yang sudah diterangkan di atas.

Ketiga hal komodifikasi tersebut dapat dilengkapi dengan dua tambahan lagi, yaitu: komodifikasi imanen dan komodifikasi perluasan. Kedua hal tersebut yang akan melengkapi bagaimana media memiliki nilai-nilai komodifikasi yang penting dalam setiap perkembangan komunikasi dalam media.


Komodifikasi Imanen

Bagaimana sebuah iklan yang membeli air time atau ruang dalam sebuah media massa kemudian mereka mendapat peningkatan keuntungan dari iklan-iklan yang mereka pasang pada media massa? Perputaran uang-uang hasil dari berbagai transaksi yang berhubungan proses komunikasi antara media dan khalayaknya maka dianggap juga sebagai hasil proses komodifikasi. Dalam hal ini, rating atau share adalah sebuah komoditi yang penting yang juga menghubungkan advertiser, pemilik perusahaan dan khalayak yang juga sebagai konsumen dari produk-produk mereka. Maka rating menjadi sangat penting, bukan hanya untuk komoditas media tapi juga telah menjadi bagian dari tahapan-tahapan perkembangan komodifikasi komunikasi.

Berbicara mengenai rating, tentu kita mengenal ahli perhitungan tersebut untuk media, AC Nielsen. Perusahaan survai yang membuat sebuah angka-angka persentasi setiap acara yang menjadi sebuah acuan umum bagi pengiklan agar dapat menyusun strategi media positioningnya. Namun saat ini hasil tersebut malah dijadikan perlombaan tiap media yang bukannya untuk mengingkatkan kualitas, namun malah meninggikan ratingnya. Berbagai cara ditempuh, sekaligus dalam berbagai media, termasuk media sosial.



Komodifikasi Perluasan

Komodifikasi yang diperluas terjadi ketika bagaimana nilai-nilai yang telah dikomodifikasikan pada khalayak dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Kemudian perubahan-perubahan dari kepercayaan masyarakat terhadap sponsorship yang bersifat private atau swasta untuk tempat atau layanan publik. Lalu penggunaan taman-taman atau tempat hiburan umum yang lebih sepi dari pada shopping mall. Dikatakan juga bahwa komodifikasi dalam ekonomi politik bukan mengenai kekuatan tapi hegemoni.

Komodifikasi dinilai juga tidak hanya berkaitan dengan media, namun lebih luas dan dapat diterapkan dalam berbagai ranah bidang ilmu dan pekerjaan. Misalnya saja Crawford yang menciptakan sebuah fungsi guna menjadi fungsi tukar dalam shopping mall. Berdasarkan pengamatan dan penelitian tentang konsumen, kini produk sebuah toko akan berlomba untuk menampilkan dengan baik. Sederhananya sebuah pintu bisa menjadi etalale unik untuk menarik pembeli. Langkah komodifikasi inilah yang menjadikan sebuah perkembangan yang tak hanya media, namun bisa kepada banyak hal.



Proses Alternatif dalam Kehidupan Pribadi dan Masyarakat

Kritikus ilmu ekonomi politik, termasuk mereka yang menentang penggunaan ilmu ekonomi politik dalam ilmu komunikasi, secara konsisten cemas akan ilmu ekonomi politik yang condong pada esensialisme. Beragam alasan dilontarkan, tetapi terkait riset komunikasi, disebutkan bahwa kritikus menolak gagasan bahwa seseorang dapat mengurang semua praktik komunikasi dan budaya menjadi sebuah realitas ekonomi politik yang mendasar atau lebih utama, yang mencakup proses komodifikasi (Critical Studies in Mass Communication, 1995).

Baik ilmu ekonomi politik umum maupun penerapannya dalam komunikasi mengandung konten riset yang kaya, beragam, komprehensif, yang tidak bisa disederhanakan menjadi kategorisasi atau muatan yang sederhana. Secara spesifik, komodifikasi mengubah konten media, tetapi tidak mengubahnya menjadi keunikan yang memungkinkan seseorang untuk menerjemahkan konten media secara langsung dari proses komodifikasi.

Dimulai dengan komodifikasi, ini telah menetapkan kerangka acuan kerja teoritis, pada saat yang sama mengenali beberapa penentuan dan pembentukan bersama dari semua proses. Kini melanjutkan pada identifikasi proses tambahan dan struktur pendampingnya yang tersusun atas praktik alternatif dan bertentangan.

Salah satu saran teoritis lebih bernilai dalam area ini membahas peran negara dalam apa yang Offe sebut sebagai proses “rekomodifikasi administratif.” Bagi Offe, periode laissez-faire ( = frase bahasa Prancis yang berarti biarkan terjadi), yang menekankan pasar sebagai solusi atas sebagian besar masalah, mau tak mau diikuti oleh dekomodifikasi atau “sosialisasi” dari kehidupan ekonomi politik. Ini terjadi sebagai respons terhadap ketidakstabilan dan konflik yang disebabkan oleh kelalaian dalam kepercayaan berlebihan pada mekanisme pasar.

Kolapsnya bank dan perusahaan investasi yang menyerah pada krisis dalam perumahan dan peminjaman pada 2007-08 berujung pada intervensi pemerintah untuk menasionalisasi atau sebaliknya membantu institusi keuangan yang bermasalah seperti Nothern Rock di Inggris dan Bear Stearns di Amerika Serikat. Bantuan tersebut juga termasuk bantuan untuk pemilik rumah yang tidak sanggup untuk melunasi pembayaran cicilan KPR.

Dekomodifikasi melibatkan pembentukan kebijakan dan program sosial untuk melindungi eksistensi ekonomi dari aktor sosial, baik di tingkat modal maupun tenaga kerja, termasuk mereka yang umumnya tidak mampu atau tidak bisa berpartisipasi dalam komodifikasi. Akan tetapi, pembayaran transfer dan sumber penerimaan lainnya yang mencegah orang-orang ini untuk “drop out” dari proses terbukti tidak bertahan lama dar segi fiskal untuk jangka waktu lebih lama. Lebih lanjut, Offe bersikukuh, proses tersebut terbukti tidak bertahan lama dari segi politik karena proses itu dalam praktiknya tidak mungkin untuk secara politis mengatur ekonomi tanpa secara signifikan mempolitisasinya (Offe, 1984: 35-64). Dengan demikian, Offe memandang modal yang merespons dengan rekomodifikasi, yakni, “untuk menyelesaikan masalah pada bentuk komoditas dengan secara politis menciptakan kondisi yang mana subjek legal dan ekonomi dapat berfungsi sebagai komoditas” (Offe, 1984:124).

Secara spesifik, ini menuntut adanya satu set program yang ditujukan untuk meningkatkan nilai pasar dari tenaga kerja, mengintegrasikan dan memusatkan modal transnasional, mendukung mereka dengan kecenderungan untuk mengonsumsi, dan mengizinkan pengecualian dari mereka yang gagal tes pasar. Namun, menurut Offe, ini hanya berhasil sebagian karena negara terlibat dalam percobaan untuk menggunakan cara non-pasar untuk memajukan pasar dan harus membayar, sekalipun tidak langsung, harga dari praktik ekslusioner, seperti pengendalian kejahatan dan perluasan penjara.

Selain itu, seperti kritik terhadap birokratisasi yang berasal dari Max Weber telah menunjukkan, hasilnya sering kali bahwa mekanisme non-pasar, yang dimulai sebagai cara, menjadi eksis tanpa tujuan jelas dan merusak proses rekomodifikasi. Ini mendatangkan respons pemerintah sendiri, khususnya menonjol pada era 1990-an dan tahun-tahun awal pada abad ini, yang setara dengan penerapan prinsip pasar oleh negara dengan harapan jika negara memerhatikan bisnis pasar, hal itu akan memajukan prinsip pasar. Masalahnya adalah, seperti yang disampaikan Offe berulang-ulang, sekalipun negara dapat dibuat menyerupai bisnis pasar, terdapat batasan mendasar pada kemampuan negara untuk bertindak seperti itu, terutama karena negara dicegah oleh akumulasi langsung. Dengan kata lain, ketika negara berhasil sebagai kapitalis, misalnya dengan menghasilkan uang, kapitalisme menekan negara untuk berhenti bersaing dengan perusahaan swasta.

Pendapat Offee, seperti yang disepakati para ahli lainnya (Jessop, 2001), mengambil tindakan mengarah pada perbaikan esensialisme yang melekat pada penegasan proses komodifikasi yang sederhana dan deterministik atau pasti. Namun demikian, proses tersebut terbatas pada peragaan bahwa perubahan sosial terjadi dari batasan komodifikasi dan batasan pada perubahan sosial yang asli di masyarakat kapitalis selalu kembali pada komodifikasi. Apakah ada alternatif tulen pada komodifikasi dalam kehidupan pribadi dan masyarakat?

Hargai penulis secara ilmiah dengan memasukkan:
Freddy Yakob. 2014. Komodifikasi: Konten, Khalayak, dan Pekerja.

Postingan Populer